Heidegger: Dari Ada Menuju Kematian

Share:

Listens: 0

Tyologi

Arts


Dasein berada-di-dalam-dunia, yang berbeda dengan pernyataan air ‘di dalam’ gelas atau punting ‘di dalam’ asbak. Berada-di-dalam-dunia artinya menjadi bagian dari dunia artinya mendunia. Bahkan berada-di-dalam-dunia merupakan nama lain dari Dasein. Akhir dari berada-di-dalam-dunia, adalah kematian. Bahasa Indonesia punya padanan menarik dari akhir Dasein ini: meninggal dunia. Beberapa hal yang dapat ditemui dalam dunia Dasein: alat-alat, benda non-alat, dan orang lain. Alat-alat merupakan benda yang punya fungsi atau diperuntukkan buat sesuatu. Sikap terhadap alat ialah memanipulasi atau memperalat. Dalam hal ini, terdapat aroma humanisme, di mana Heidegger berkata memperalat manusia merupakan sesuatu yang tak tepat karena manusia direduksi menjadi alat bagi manusia lain. Seperti budak. Selain alat-alat, terdapat non-alat, benda yang tak punya nilai fungsional tertentu. Selain itu, dunia Dasein juga terdapat orang lain atau disebut Mit Dasein, orang-orang lain. Dalam keseharian atau rutinitas, Dasein bisa terbenam dan tenggelam sehingga jauh dari cara mengada manusia yang sejati. Sebab manusia dalam keseharian tak mengenal dirinya sendiri, dan justru menyembunyikan dirinya yang sejati. Saat itulah, Dasein menjadi das Man, atau sesuatu yang kerap kita ujar sebagai “orang”. Ketika Dasein menjadi das Man, keunikan dan kekhasan pun lenyap, sebab orang-orang cenderung mengikuti trend, fesyen, dan terbenam dalam kerumunan massa. Tapi di sisi lain, Dasein juga tak bisa dilepaskan dalam keseharian tersebut. Inilah yang mencemaskan dan paradoks: Dasein ingin mengenal Ada-nya, tapi di sisi lain Dasein mesti berkubang dalam keseharian yang mengasingkan Ada-nya. Apabila das Man menjelma das Man, maka ia jadi anonim. Contohnya soal kawin. Das Man akan kawin karena tekanan keluarga atau ikut tren sosial atau karena cemburu dengan teman-teman dekat yang sudah menikah lebih dulu. Sedangkan das Sein, memilih kawin karena keputusan pribadinya yang dilalui lewat proses permenungan, proses memahami apa yang penting bagi masa depannya. Dalam proses yang mencemaskan itulah, keputusan eksistensial lahir. Das Sein hidup dan memerankan drama eksistensial: das Sein tak tahu dari mana ia berasal, akan ke mana ia nanti, dan mengapa ia ada. Ketiga hal itu lalu mengusik sebagai kecemasan. Ketiga pertanyaan itu lalu menjadi akar dari krisis eksistensial kita. Kiwari, kita tahu itu sebagai quarter life crisis, yang sesungguhnya merupakan panggilan untuk memahami keterlemparan manusia di muka bumi. Das Sein lantas bertanya: untuk apa aku harus hidup? Mau jadi apa nanti? Kenapa aku harus tetap hidup? Dan seterusnya dan seterusnya.